CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Rabu, 24 November 2010

Sepenggal Doa yang Aku Alamatkan

Subuh hari, ku alamatkan doaku kepada Sang Pemilik mimpi, berharap semoga kegelisahanku selama ini terjawab, tentu dengan jawaban terbaik yang kuharapkan. Entah sudah berapa kali kuulangi paragrap doaku, hingga kurasakan kakiku kram karena hampir sejam bersila. Tapi aku tak mau menyerah. Karena menurutku, Tuhanku tak suka dengan para penyerah,-setidaknya itu yang ku tahu ketika mengaji di pesantren dulu.

“hai Pemilik raga dan jiwaku, Pemilik kemaluanku, berikan keadilan nyata untuk raga, jiwa dan kemaluanku. Engkau Sang Pencipta, Engkau Sang Pemelihara dan Engkau Pemilik rahasia di balik rahasia. Maafkan kedho’ifanku. Aku yang belum mampu mengungkap rahasiaMu yang kau teka-ketikan dalam perjalananku. Robbanaa Dhalamnaa anfusanaa wa inlam taghfir lanaa dzunuubanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal ghosiriin”.

Aku tak tahu apakah doaku adalah suatu kebenaran. Tapi aku yakin, meski tak berteilnga, Tuhanku Maha Pendengar. Biarlah Dia sendiri yang menentukan benar salahnya, –Sang Pemilik kebenaran hakiki yang sering oleh hambaNya disalah arti dan disalahgunakan. Digunakan untuk membungkus bangkai manusia lain yang telah mereka cincang. Dipasang di tembok-tembok rumah sebagai alarm tanda bahaya yang mengancam keangkuhan mereka. Digelandang sebagai anjing pelacak yang menggonggong kala mencium bau busuk yang mereka buru. Diciderai untuk dinikmati menjadi sarapan pagi perut tambun mereka. Makanya aku setuju saja bila ada yang mengatakan bahwa kebenaran hanya ada di benak para pengaminnya. Ya….hanya ada dalam angan-angan…..

Baiklah,….di atas sajadah bekas sujud subuhku ini, aku tak akan menghakimi siapaun. Tak layak bagiku menghakimi sesama. Toh kelak kita akan diarak menuju sidng paripurnNya yang agung. Mempertanggung jawabkan segala yang kita perbuat, - baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui karena kebodohan kita, yang kita anggap baik-buruk serta yang kita yakinini benar -salahnya.

Aku sadar, alangkah ramainya doa yang di serukan ke langit subuh ini, bahkan sebagian telah mendahuluiku, andaikata Dia memberlakukan sistem antrian –selayaknya yang kita pakai di tempat-tempat pelayanan umum, aku tak tahu di nomor urut ke berapa doaku mengantri. Namun sekali lagi aku percaya Tuhanku maha bijaksana dan Maha mengetahiu tentang diriku lebih dari apa yang aku sendiri ketahui. Perkara nanti dikabulkan atau tidak, itu adalah hak Dia. Yang jelas, kulakukan ini sebagai wujud dari pengakuanku akan ke-WujudanNya serta kepercayaanku atas segala pemberianNya yang aku sendiri hampir atau bahkan tak pernah sama-sekali memintaNya, - Karena Dia Maha Pemberi.

Tentu setiap awalan pasti ada akhiran. Begitu pula lazimnya adab berdoa yang telah kupelajari. Dibuka dengan kalimat ‘iftitah’ dan ditutup dengan kalimat ‘ikhtitam’. Dan sebagai penutup doaku subuh ini, aku hanya akan katakan:

“han…..jika memang aku tak berhak menikmati dan bahagia dengan keindahan ‘ciptaan’Mu, karena menurutMu ‘dzalim’, sebagaimana juga yang telah diserukan oleh para pengakuMu. Tolong han….hapus mimpi-mimpi ini dari memoriku segera. Dan jangan beri kesempatan bagiku untuk melakukan ‘itu’ lagi…..”

Sebelum aku mengulangi penutup doaku untuk yang ketiga kali, tiba-tiba bulu leherku ditegangkan oleh hembusan nafas memburu yang baru semalam aku kenal. Sang pemilik nafas berucap lirih tepat di telinga kiriku “ Sayang, semalam kaki kita baru menginjak na’im, mari kita lanjutkan perjalanan kita untuk menapaki firdaus !”.
………….
Jogja, Nopember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar